Majalah dan Terbitan Berkala
Biennale Jogja Equator Volume 4,Nomor1, Januari - Maret 2016: Yang Muda, Yang Berbahaya
Edisi ini akan memulai lembaran baru pasca - perhelatan Biennale Jogja seri Equator#3 pada November - Desember tahun lalu. Pada kali ini membicarakan berbagai isu isu soal anak muda dan gerakan kaum muda terkini. Berbagai topik akan dieksplorasi, melihat berbagai corak dan kemungkinan muncul belakangan ini. Isu atau kegelisahan di coba diikat dalam satu tema "besar;"Yang Muda, Yang Berbahaya!'
Edisi ini"dimulai" dengan provokasi Tia Pamungkas yang tampak gelisah dengan lesunya inisiatif kaum muda dari kalangan mahasiswa dalam merespon beragam persoalan penting dan mendesak.
Singkatnya, Tia melihat bahwa para penggerak perubahan di kota Yogyakarta justru berasal anak muda yang ada di karangtaruna , komunitas - komunitas sub kultur, dan seniman seniman muda.Gerakan mahasiswa justru dipandang lesu dan kurang mampu menjadi inisiator gerakan.
Tulisan kedua dan ketiga-Hamada dan Irham Nur Anshari-boleh dibilang saling terkait satu sama lain.keduanya berusaha menyoroti fenomena terkini dikalangan anak muda.Hamada menguraikan fenomena budaya produksi anak muda,khususnya Yogyakarta;"hacking"yang menjiwai budaya produksi alternatif.Do it Yourself-Do it With Other bukan sekedar jargon, tetapi mewakili sebuah prilaku produksi yang mencoba melawan budaya produksi-konsumsi dominan.Bila Hamada berfokus pada budaya produksi anak muda, maka Irham sebaliknya, menilik aspek kunsumsinya. Dalam hal ini Irham memilih untuk membahas budaya menonton di kalangan anak muda Yogyakarta sebagaimana ia amati dan cermati. Perkembangan teknologi informasi memberi pengaruh pada budaya menonton; pergeseran tontonan dari ruang keluarga(atau bioskop dalam konteks yang lebih besar) kelayar laptop yang politis dari budaya lebih privat.
Tulisan keempat sebuah ulasan kritis dari Maria Puspitasari Munthe, menyoroti dan memeriksa ulang posisi politis dari budaya populer sebagaimana sempat disuarakan teoritikus Kajian Budaya.Diskursus itu menempatkan budaya populer sebagai bagian dari aksi politis.Lewat tulisannya, Pita tidak hanya memeriksa asas - asas teoritisnya.tetapi gerakan gerakan tertentu yang menggunakan budaya populer sebagai atribut strategis untuk menggalang kesadaran politis tertentu.
Tulisan terakhir edisi ini dari Aquiono Wreddya Hayunta yang mengangkat maslah kebebasan berekspresi dalam seni. Isu itu menjadi krusial atau penting karena kita memang butuh sebuah definisi perihal apa itu'kebebasan berekpresi",khusunya dalam ranah seni terkini. Sedang ia menjadi sensitif karena seringkali dikonotasikan sebagai salah satu bentuk mutakhir dari praktik liberalisme, terutama oleh kaum agamis yang puritan atau negara bila itu terkait isu tertentu.
16-5281 | 705 B 4/1/2016 | Praktek Seni Interdisipliner (Biennale) | Tersedia |
16-5281.2 | 705 B 4/1/2016 | Praktek Seni Interdisipliner (Biennale) | Tersedia |
16-5281.3 | 705 B 4/1/2016 | Praktek Seni Interdisipliner | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain