Katalog dan Terbitan Kegiatan
10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa : Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi
Buku ini hadir sebagai salah satu wujud refleksi atas peristiwa Biennale Jogja Equator, sebuah peristiwa seni yang tidak biasa, ambisius, dan patut kita cermati. Ada 14 tulisan yang bisa kita baca. Namun, saya hanya memilih tiga tulisan.
Pertama, tulisan dari Alia Swastika berjudul “Tata Dunia Baru, Tata Seni Baru”. Alia mengawalinya dengan sebuah pertemuan para seniman Indonesia dengan India pada 1930an, yang bermula dari kedatangan Rabrindanath Tagore bersama beberapa orang dan pengajar sekolah seni Santiniketan di India. Setelah kunjungan itu, beberapa seniman Indonesia dikirim ke Santiniketan oleh Soekarno, antara lain Edhi Soenarso dan Affandi. Sebuah “model relasi antarindividu dan institusi yang masih cukup relevan untuk dilakukan pada masa kini”, ungkap Alia.
Orde Baru kemudian seolah memutus hubungan erat antar negara anggota Konferensi Asia-Afrika dengan orientasi internasionalismenya yang berporos pada Amerika Serikat. Dan Biennale Jogja Equator menjadi perhelatan yang mengupayakan kehadiran hubungan itu kembali. Artinya, rezim pasca Reformasi tidak menganggap hubungan semacam itu penting. Seniman/ kurator dilihat sebagai agen penting yang perlu digarisbawahi sebagai pergeseran penting, yakni dari negara ke masyarakat sipil.
Dari tulisan Alia ini kita bisa tahu pondasi dari Biennale Jogja Equator sebagai peristiwa seni dengan ambisi dekolonial yang menggebu-gebu, serta sebagai laku politik gelanggang seni di hadapan negara yang lebih memilih untuk melestarikan proyek kapitalis pasca 1989, yakni embedded liberalism. Kurang lebih begitu gambar besarnya.
Dua tulisan lain yang saya pilih untuk saya singgung sedikit adalah “Can the Youth Speak? Biennale Jogja Equator, Educational Turn, dan Kerentanan Penulis Muda” oleh Hartmantyo Pradigto Utomo dan “Publik, seni, dan Biennale Jogja” oleh Budi N. D. Dharmawan. Tulisan-tulisan ini bagi saya mewakili apa yang jarang dibicarakan, tapi punya elemen penting untuk menjadi ruang kritik bagi Biennale Jogja Equator secara khusus atau hajatan seni secara umum.
Hartmantyo memaknai posisi orang muda dalam perhelatan biennale melalui kecenderungan educational turn sejak 1989 di Kuba, yang mengupayakan aspek pedagogi dengan partisipasi publik. Educational turn diupayakan sebagai jembatan untuk menghubungkan relasi geopolitik antar negara bekas jajahan. Asana Bina Seni yang digelar oleh Biennale Jogja Equator ia tandai sebagai upaya memberi ruang kepada publik muda yang secara umum sulit menjajaki karir di bidang kesenian. Keterlibatan lima penulis muda, yakni Saraswati N., Sabrina, Duls Rumbawa, Arlingga, dan Tomi Firdaus dalam penulisan buku ini dilihat sebagai proses pedagogi yang tak luput dari kerentanan.
Di samping beberapa kerentanan yang bagi saya memang krusial, ada satu yang membuat saya gelisah. Soal akses literatur yang minim. Dikatakan demikian, “ada satu buku yang khusus mendokumentasikan pameran Contemporary Art of the Non-Aligned Countries, tetapi harga pasarannya tentu saja tidak bersahabat bagi mahasiswa yang sedang merintis karir sebagai penulis.” Jika yang dimaksud adalah buku “Contemporary Art of the Non-aligned Countries: Unity in Diversity in International Art : Post-event Catalogue” terbitan Balai Pustaka, 1977, nampaknya mereka lupa kalau ada sebuah lembaga arsip bernama IVAA yang punya buku itu dan bisa dipinjam secara mudah. Saya jadi curiga apakah Asana Bina Seni betul-betul menjadi platform pedagogi atau justru pencarian pekerja muda prekariat. Peminjaman istilah self-organizing precariat dari Anthony Davies oleh Harmantyo jadi masuk akal, sebagai kritik kepada Biennale Jogja Equator itu sendiri. Semoga saya salah.
Lalu, saya kira hanya tulisan Budi yang membicarakan posisi publik, satu subjek yang jarang sekali diperhatikan. Berporos pada pentingnya seni dalam proses edukasi, Budi mempersoalkan batas yang tak terlihat antara “publik” dan seni, terutama dalam konteks hajatan Biennale Jogja Equator. Praktik berfoto diri di depan karya, yang dulu sempat menjadi topik sindiran dan akhir-akhir ini mulai diterima, menjadi fenomena pemantik elaborasi batas tersebut. Perhelatan seni bagi publik tak ubahnya sebagai perayaan. Dan berfoto di depan karya kemudian mengunggahnya ke media sosial adalah bentuk keterlibatan publik di tengah semakin kaburnya public sphere. Tapi Budi juga menggarisbawahi upaya-upaya penyelenggara hajatan seni dalam mengakomodasi publik setepat mungkin. Ia mengajak publik untuk turut memiliki keberaksaraan visual sebagai jembatan untuk memahami peristiwa seni sebagai bagian dari pendidikan dalam arti luas.
Sekali lagi, di buku ini total ada 14 tulisan. Dan saya baru menyinggung 3 buah. Lainnya tentu menawarkan refleksi yang bervariasi, mulai dari aspek pengalaman seniman dengan warga, estetitasi lokalitas, posisi suara perempuan, hingga posisi Biennale Jogja Equator di percaturan global. Sebagai refleksi 10 tahun perjalanan, buku ini jelas penting untuk dicermati. Sehingga, kita bisa memperkirakan peristiwa, respon, dan langkah apa yang mampu dimungkinkan selanjutnya. Apakah Biennale Jogja Equator sebagai peristiwa merangsang kita untuk memikirkan ulang situasi kerasan (istilah St. Sunardi dalam salah satu Pengantar buku ini, berjudul “10 Tahun Khatulistiwa Sebuah Perjalanan Membuat Kartografi”) dan melampauinya?
23-11362 | 701 ANS t | Filsafat, Sejarah dan Teori Seni (Katalog Biennale Yogyakarta) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain