Buku
Artists and the People Ideologies of Art in Indonesia
Sebelum memasuki bagan review buku, alangkah baiknya kita kenal sekilas tentang penulisnya, yaitu Elly Kent. Elly Kent adalah seorang peneliti, penulis, penerjemah, guru, professional lintas budaya, dan seniman. Ia juga merupakan editor dan direktur di Australia National University bagian Institut Indonesia yang berfokus pada pendidikan akademik seni di Indonesia dan Australia. Pada 2023, Elly tergabung dalam Universitas South Wales sebagai pengajar Indonesian Studies.
Buku “Artist and Its People” awal mulanya lahir sebagai tulisan dalam rangka penelitian doctoral penulis mengenai seni partisipatoris di Indonesia. Seni partisipatoris itu sendiri adalah bentuk seni yang dalam prosesnya melibatkan seniman dan juga rakyat/orang di sekitarnya. Dalam artian lain, seni partisipatoris memungkinkan publik untuk andil dalam membuat suatu karya bersama seniman.
Elly merumuskan setidaknya empat prinsip ideologis yang menjadi fondasi dan pengait dari apa-apa yang ada di buku ini, yakni antara seni rupa dan masyarakat, serta sejarah seni rupa dan masyarakat. Prinsip pertama ‘dipinjam’ dari tulisan Sanento Yuliman, “History, Identity, The Matrix for The Art of Soul” yang mengajak para pemerhati untuk mengakui bahwa seniman itu tercetak di konteksnya. Ia terpengaruh oleh sejarah, politik, dan sosial-budaya di tempatnya, dan itu tidak bisa dihindari. Konsep ini juga disebut konsep heteronom. Elly menganggap ideologi/ prinsip ini sebagai kendaraan pikiran bagi seniman untuk mengartikulasikan konsep bagaimana seorang seniman itu merakyat atau bergabung dengan masyarakat.
Prinsip kedua, turba (turun ke bawah), yaitu prinsip dari Lekra yang menggabungkan seniman dan rakyat. Seniman diajak—atau dipaksa—untuk turun ke bawah. Dalam tulisannya, Lekra memakai istilah tidur dan makan bersama rakyat. Di situ, seorang seniman juga memiliki peran sebagai penghubung rakyat dan pemerintahan. Seniman menjadi si penyampai keluhan dari rakyat sekaligus sang negosiator penyelesaian masalah.
Prinsip ketiga, yaitu kerakyatan. Prinsip ini terinspirasi dari tulisan Pak FX Harsono. Harsono menjelaskan, pada tahun ’80-’90, ada semacam gejala dari pikiran seniman yang lebih luas tentang hal rakyat dan kerakyatan dengan memakai istilah wong cilik (Bahasa Jawa: orang kecil). Istilah wong cilik ini dianggap lebih luas dan menyentuh dalam aspek masalah lingkungan, alam, polusi, pengungsian, pekerja, perang, dan sebagainya. Saat ini pula para seniman mulai bergabung dengan berbagai LSM. Dalam ideologi ini, bergabung atau bekerja dengan kerakyatan adalah sesuatu yang penting.
Prinsip yang keempat yaitu etika dan estetika, yang menggali kaitan gotong royong serta rasa, sejarah, dan budaya. Elly memaparkan bahwa gotong royong adalah rasa memahami bagaimana estetika itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang heteronom, yang selalu terpengaruh oleh hubungan kita dengan orang lain. Estetika itu tidak selalu apa yang kita lihat, tetapi sesuatu yang terkait dengan rasa kita.
Literatur tentang partisipasi dan kolaborasi tidak terlalu banyak tersedia untuk kawasan Asia, kebanyakan hanya menyoroti Amerika dan Eropa. Ini pula yang menjadikan buku ini sangat bermanfaat. Dalam buku ini, Elly, selain membagi karya-karya seni partisipatoris, juga membagikan sejarah seni partisipatoris itu sendiri. Buku ini membantu membaca ulang linimasa seni rupa Indonesia. Penulis berusaha mengurai dan menstrukturkan seni partisipasi/ kolaborasi dari berbagai perspektif dari era Lekra, Mulyono, Elia Nurvista, dan seniman-seniman lain yang bisa dilihat dengan jelas.
22-11352 | 701 KEN A | Filsafat, Sejarah dan Teori Seni (Filsafat, sejarah dan Teori seni (Ref)) | Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - No Loan |
Tidak tersedia versi lain